OLE, INDONESIA!!!!
Oleh Christian Cangkung, CMF
Yang kutahu, kumandang azan tak pernah terdengar dari mesjid yang
jaraknya cuma beberapa blok dari hunianku itu. Padahal dari cerita yang
kudengar, mesjid itu adalah yang terbesar di Eropa bagian barat. Sesuatu
yang tak lazim buatku yang terbiasa mendengar kumandang azan dari
mesjid-mesjid apalagi pada masa ramadhan seperti sekarang ini. Saya
teringat pengalaman masa studi di Yogyakarta. Betapa tidak, rumah kami
berdekatan dengan lima mesjid. Bisa dibayangkan betapa riuhnya gema azan
pas saat jam sembahyang 5 waktu tiba.
Saya menyambangi mesjid
yang dikenal dengan “Moschea di Roma” itu tiga minggu yang lalu,
beberapa hari sebelum masa ramadhan dimulai. Di ruang jaga, duduk
seorang pria berwajah Arab. Baru saja saya hendak menghampirinya, si
pria tadi langsung mengarahkan tangannya ke arah mesjid sambil berkata,
“Anda mau berdoa, silakan masuk ke ruangan air wudhu. Pintu masuk ada di
dekat tangga itu”. Saya lantas menjelaskan bahwa saya bukan orang
muslim dan datang untuk melihat-lihat saja. Dia lantas tersenyum ramah
saat saya bilang, saya pastor mahasiswa dan berasal dari Indonesia. Saya
diijinkan masuk ke dalam mesjid tapi demi rasa hormat, saya pikir
cukup untuk melihat bagian luarnya saja. Toh, kemegahan rupa luar
bangunan ibadah itu sudah bisa mencerminkan bagian dalamnya yang tak
kalah indahnya. Satu hal sebenarnya yang ingin sekali saya lihat adalah
batu nisan yang bertuliskan ucapan terima kasiih kepada Negara-negara
yang telah menyumbang dana untuk pembangunan mesjid di mana Indonesia
termasuk salah satunya. Dan betul, nisan itu terpajang pada dinding
bagian depan mesjid, ditulis dalam dua bahasa, Arab dan Italia.
Indonesia tertera pada urutan 9, bersanding dengan 22 negara penyumbang
lainnya. Sampai di sini, ada rasa bangga melihat nama Indonesia tertera
di batu nisan tersebut. “Pantas si pria Arab tadi tersenyum ramah,”
pikirku.
Selama ramadhan ini, memang tak ada kumandang suara
azan yang bergema dari Moschea di Roma tersebut. Tiada jajanan makanan
pembuka puasa di pinggir-pinggir jalan sebagaimana yang pernah kulihat
di sepanjang Jalan Kaliurang Yogya. Tak ada bunyi genderang sahur di
pagi buta. Tapi ramadhan tetap berjalan sebagaimana biasanya. Ada saja
pria berwajah Arab atau wanita berjilbab yang keluar dari bus 910 yang
berhenti di fermata (perhentian bus) di Via Sacro Cuore di Maria lalu
berjalan kaki menuju Moschea di Roma. Kendati negara ini dikenal
mayoritas Kristen Katolik, toh kebebasan hidup beragama mendapat jaminan
dari konstitusi negara. Umat beragama lain yang kebanyakan ekspatriat,
aman-aman saja menjalankan ibadahnya. Satu hal yang berkesan buat saya,
ada niat baik negeri ini untuk menerima keberagaman dan merangkainya
menjadi sebuah mozaik kehidupan yang indah, aman dan tenteram. Tetapi
yang terjadi di negeri sendiri malah terbalik. Belum selesai dengan
masalah pelarangan pendirian Gereja dan pelaksanaan Ibadah Umat GKI
Yasmin Bogor, HKBP Ciketing dan HKBP Filadelfia sekarang muncul lagi
dengan kasus serupa terhadap Gereja Paroki St. Yohanes Parung Bogor.
Lebih aneh lagi bahwa perlakuan itu didaratkan pada sesama
saudara-saudari sebangsa dan setanah air. Tampak jelas ada niat jahat
untuk menolak keberbedaan dan menghancurkan mozaik hidup keanekaragaman
yang sudah dibangun pendiri bangsa ini sejak awal. Pancasila dan UUD
1945 pun diabaikan. Saya tak habis pikir, mau jadi apa bangsa ini
nantinya. Hampir 67 tahun merdeka, tapi kemerdekaan sepenuhnya itu masih
jauh dari harapan. Olee, Indonesia!
(Ole!!!=seruan dlm bahasa Manggarai)
* Tulisan ini telah diposting di facebook oleh penulis Christian Cangkung, seorang pastor muda Claretian. Dia adalah teman dekat saya sewaktu kuliah. Tulisan ini dimuat atas seijin beliau.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar