SELAMAT DATANG DI BLOG SIPRI NAR : KREATIVITAS UNTUK PERUBAHAN *** BANGUN KAMPUNG BANGUN INDONESIA ***

Senin, 02 Mei 2011

Politik Dan Moral


Manusia adalah mahkluk yang mengada dalam dunia. Ia menyadari dirinya sebagai yang tak terpisahkan dari dunianya. Dalam zaman heteronomi, manusia memandang dirinya sebagai bagian dari dunia. Ketika kesadaran baru muncul dalam zaman otonomi, manusia mulai melihat dirinya sebagai pusat dunia. Dunia menjadi obyek tatapan manusia. Dunia bukan hanya pembentuk kepribadian manusia tetapi juga menjadi suatu medan expresi diri manusia itu sendiri. Dunia menjadi tempat manusia menyatakan dirinya. Dunia adalah tempat manusia hidup.

Salah satu peran yang dimainkan manusia adalah “sosialitas”. Dalam kesosialannya manusia menampakkan salah satu aspek dari kehidupannya yaitu aspek politik (politics). Di sini manusia menampilakan dirinya sebagai “zoon politicon” (sekedar meminjam istilah Arisoteles). Dalam kerangka dimensi kesosialan-nya itu dimensi politis mencakup lingkaran kelembagaan hukum dan negara dan sistem nilai dan ideologi-ideologi yang memberikan legitimasi kepadanya. Dimensi politis manusia adalah masyarakat sebagai keseluruhan.

Pada dasarnya istilah politik dimengerti sebagai “pengaturan hubungan antara pemeritah/pengusaha dengan warganya demi tercapainya kesejahteraan masyarakat”. Sekarang ini orang memahami; politik sebagai seni berkompromi, perebutan kekuasaan, pertentangan ideologi, dan lain-lain. Politik dianggap sebagai sesuatu yang jahat. Wajar pula, jika orang berkata ‘jangan main politik’. Wacana ini kiranya lahir dari pengalaman empirik yang melihat politik sebagai hal yang negatif-destruktif. Pada hal politik itu sebenarnya baik sejauh orang memahmi politik sebagai aktus manusia demi pemanusiaan dirinya dan lingkungannya.

Bagi Machiavelli, politik ádalah tentang suatu hal: meraih dan mempertahankan kekuasaan. Hal-hal yang lain, agama, moralitas dan lain sebagainya, yang dikaitkan dengan dengan politik, tidak ada sangkut pautnya dengan aspek fundamental politik. Dalam bukunya (Il Principe) ia melukiskan bahwa seorang penguasa semestinya hanya berorientasi pada kekuasaan dan hanya mematuhi aturan yang membawa kesuksesan politik. Karena itulah ia diidentikan dengan pemerintahan yang korup dan totaliter.         

Berbicara tentang politik berarti serentak pula kita berbicara tentang kekuasaan (kekuasaan negara). Machiavelli menampilkan bahwa kekuasaan kekuasaan itu bersifat ganda. Ambigüitas kekuasaan itu adalah menarik/mempesona dan menakutkan.    Kekuasaan pada dasarnya melekat secara inheren dalam diri manusia sebagai manusia politik (political being). Setiap manusia secara mendasar akan memiliki keinginan yang mutlak akan kekuasaan. Paling tidak seseorang akan menjadi penguasa bagi diriya sendiri. Atau menjadi penguasa bagi keluarga, organisasi, baik yang sederhana maupun yang sangat kompleks dan dominan dalam kekuasaan, seperti  negara. 

Berbicara tentang politik negara berarti mau tidak mau kita berbicara tentang kekuasaan negara. Kekuasaan iu selalu ambigu: mempesona dan sekaligus menakutkan, karena itu orang rela menderita demi kekuasaan. Kekuasaan mempesona karena kita berhadapan dengan penguasa yang berkharisma besar, berpenampilan memikat dan dngan kharismanya ia dapat mengatur khaos. Di lain pihak, kekuasaan menakutkan karena kekuasaan cenderung busuk, cenderung disalahgunakan untuk menindas rakyat, merampas kehidupan dan kebebasan mereka. Pada sisi ini kekuasaan menjadi tujuan dalam dirinya sendiri, tidak lagi menjadi sarana untuk mencapai tujuan negara.

Kekuasaan yang ambigu justru membuat manusia tergila-gila padanya. Orang rela menderita hanya demi kekuasaan. Karena itulah kekuasaan selalu dikejar orang, tidak peduli agama, suku, dan bangsa. Ia telah membius banyak orang untuk mendapatkannya dengan cara apapun. Sebab dengan kekuasaan orang dapat memperoleh uang, kehormatan, pelayanan dan kesempatan untuk mewujudkan semua gagasan dan keinginan. Tidak heran pula para penguasa selalu berusaha untuk tidak melepaskan kekuasaan itu. Kekuasaan itu dipertahankan, dijadikan sebagai milik dan komoditas dalam pasar gelap (black market). Menghalalkan segala cara adalah wajar dalam mempertahankan kekuasaan (the ends justify of the means). Realitas ini telah diungkapkan oleh Machiavelli dalam karyanya Il Pincipe.

Machiavelli, negarawan Italia, pelopor pemikiran teori politik sekularistik mencoba memahami kekuasaan yang ambivalen itu. Machiavelli dikenal juga sebagai pelopor pemikiran konsep ‘negara sebagai karya seni’. Semua keputusan politis tidak ditentukan oleh criteria agam atau moralitas, tetapi atas dasar criteria politis. Ia membongkar legitimasi religius pandangan kuno bahwa kekuasaan adalah hadiah dari Yang Ilahi. Dalam pandangan tersebut penguasa dipandang sebagai representan dari Yang Ilahi. Legitimasi religius yang demikian membuka oeluang bagi penguasa untuk menjalankan kekuasaan melampaui penilaian moral (etika politik). Sehingga penguasa selalu cuci tangan dalam segala tindakannya. Rakyat bersifat pasif bagaikan ‘robot’ yang siap digerakkan ketika remot kontrol difungsikan. Nasib rakyat tergantung pada belaskasihan sang penguasa. Terkadang keputusan politik banyak memberikan perlindungan terhadap kepentingan penguasa. Inikah yang terjadi dalam era Orde Baru?

Pendobrakkan Machiavelli membawa suatu pencerahan baru dalam sejarah politik dunia. Namun Machiavelli sangat berbeda dengan para filsuf Yunani yang tetap berpegang pada prinsip-prinsip moral. Bagi para filsuf Yunani, Plato dan Aristoteles, politik yang benar haruslah didasarkan atas pijakkan yang kuat yakni etika. Mereka menekankan bahwa tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara. Namun Machiavelli membongkar legitimasi moral terhadap politik-kekuasaan para filsuf Yunani tersebut. Ia berusaha menjelaskan politik dengang semangat realistis berdasarkan hakikat manusia dan dalam kerangka sejarah. Seorang penguasa haruslah berbakat alamiah, luar biasa, berambisi memiliki kekuasaan apap pun, bervisi mendalam tentang kondisi politik, mampu menjalankan roda kekuasaan secara evisien dan ulung dalam strategi dan militer. Yang terpenting dalam politik adalah memantapkan dan melestarikan kekuasaan. Pengambilan keputusan politik tidak boleh ditentukan berdasarkan pandangan agama dan moralitas. Demi kepentingan negara dan pemerintah semua tindakan pemerintah adalah halal. Kekerasan adalah salah atu jalan yang harus diambil bila eksistensi negara dan kekuasaan terancam. Jadi bagi Machiavelli, moral dan politik adalah dua hal yang berbeda. Namun sebenarnya ia menggambarkan politik real, realitas politik yang sesungguhnya. 

Pendobrakan terhadap legitimasi moral Machiavelli menjadi minat kritikan peneliti. Satu-satunya tujuan negara adalah demi negara itu sendiri. Ide Machiavelli ini dikenal dengan ide “kepentingan negara” (staatsraison / raison d’etat). Ide raison d’etat ini sebagai penjelasan dan pembenaran tindakkan politis. Ide kepentingan negara ini menjadi landasan pokok penolakan Machiavelli terhadap konsep-konsep moral individu bagi seorang penguasa. Inilah landasan pokok filsafat politiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar