Semilir angin Nanganesa mengikut langkah kami menuju kelurahan Onekore. Panas teriknya mentari di kota Ende tidak melucuti semangat kami untuk coba membaca realitas kehidupan para penenun ikat di Redabobe, kelurahan Onekore. Para ibu pengrajin tenun ikat menerima kami dengan wajah-wajah polos dan apa adanya. Senyum yang terpancar dari bibir mereka menyiratkan sejuta makna dan sepintas lalu menimbulkan kesan seolah-olah mereka hidup tanpa beban.
Kelompok pengrajin tenun ikat itu terdiri dari 9 orang ibu. Keterampilan dan kemampuan menenun telah mereka tekuni sejak mereka masih remaja. Untuk mereka, menenun merupakan sebuah profesi yang mesti dimiliki. Selain itu, menenun merupakan sebuah kearifan lokal yang mesti diwariskan dari generasi ke generasi.
Menenun sebagai sebuah profesi diakui sebagai penyokong kehidupan ekonomi keluarga mereka. Para ibu itu berjuang mempertahankan hidup dengan bertenun. Ibu Martha Bhara salah seorang anggota kelompok tenun ikat mengisahkan bahwa ia menghidupi keluarganya dan menyekolahkan anak-anaknya dengan bertenun. Ibu ini mempunyai 2 orang anak dan suaminya sudah lama pergi merantau di Malaysia. Suaminya belum memberikan kabar kepada dia dan anak-anaknya. Karena itu ibu Marta sendirilah yang menanggung kehidupan ekonomi keluarga.
Tuntutan kehidpan ekonomi yang semakin meningkat menuntut para ibu itu berjuang keras. Mereka tidak mempunyai lahan untuk diolah. Mereka mengakui bahwa satu-satunya andalan mereka adalah bertenun. Namun mereka membutuhkan biaya untuk menjalankan kegiatan menenun. Pada titik inilah, mereka mengalami kesulitan, sebab mereka membutuhkan biaya untuk membeli benang.
Kehadiran program anggur merah bagi mereka bagaikan setetes air yang jatuh di padang gurun. Sebab program anggur merah membantu mereka untuk menjalankan kegiatan menenun. Namun sebelum anggur merah masuk, mereka juga mendapat bantuan dari PNPM dan sebelumnya juga mereka telah membentuk Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP).
Dana yang mereka terima dari program anggur merah sebesar Rp. 18 juta. Masing –masing anggota kelompok mendapatkan uang sebesar Rp. 2 juta. dana ini pada bulan Agustus tahun 2011. Dana ini digunakan untuk membiaya kegiatan menenun. Selama ini mereka telah menyelesaikan beberapa kain. Melalui penjualan kain ini mereka telah mengembalikan uang ke kas kelurahan sebesar Rp. 187. 000 selama 3 bulan.
Namun kelompok tenun ini memiliki kelemahannya. Sebab mereka menjalankan usaha tenun secara individual meskipun mereka mendapatkan bantuan atas nama kelompok. Dalam pemasarannya juga, mereka menjualkan secara sendiri-sendiri. Mereka tidak memiliki wadah bersama untuk mendistribusikan hasil tenunan mereka ke pasar. Karena itu harga yang mereka peroleh dari penjualan kain tersebut bervariasi. Menurut mereka harga yang paling tinggi sebesar Rp. 100. 000. Terkadang mereka juga menjual hasil tenunan mereka dengan harga murah karena kebutuhan ekonomi yang sangat mendesak.
Bagi kelompok tenun ini, kehadiran anggur mereka bisa membantu mempelancar usaha tenun mereka. Hal ini juga diafirmasi oleh bapak Lurah Onekore (Bapak Emanuel Taji S.H ). Menurut bapak lurah Onekore program anggur merah lebih baik daripada program-program pemberdayaan lainnya. Sebab program anggur merah juga mengikutsertakan pemerintah lurah dalam menjalankan kegiatannya. Namun bapak Lurah Onekore mengharapkan agar para pendamping berusaha untuk mengenal masyarakat di kelurahan atau desa sasaran, sehingga verifikasi terhadap kelompok sasarn sungguh-sungguh benar dan objektif. Bapak lurah sangat mendukung usaha-usaha produktif dari masyarakatnya, termasuk usaha tenun ikat.
Usaha tenun ikat menjadi bagian dari masyarakat Ende, khususnya masyarakat Redabobe. Karena itu meskipun usaha tenun mengalami pasang surut tetapi kelompok tenun ikat Redabobe tetap bertekun menjalankan usahanya. Sebab tenun ikat selain sebagai penyokong kehidupan ekonomi mereka, ia juga merupakan warisan atau kearifan lokal yang harus tetap dipertahankan dan dilestarikan. Karena itu apapun kondisinya mereka tetap berjuang mempertahankan usaha tenun mereka. Ketekunan, semangat dan komitmen yang kuat dari kelompok ini patut diapresiasi agar usaha tenun ikat sebagai warisan budaya perlu dilestarikan dan berkelanjutan.
Sebagai bahan pelengkap porsentase ini, kami menunjukan hasil rekaman dari beberapa komponen yang terlibat secara langsung dalam program anggur merah di kelurahan onekore.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar